Cermati Resiko Konsumsi
Domestik Selamatkan RI dari Krisis Global
Dekan Fakultas Ekonomi
Universitas Indonesia, Firmanzah dalam acara Investment Strategy and
Oppurtunity in Volatile Market PT CIMB Principal Asset Management di
Jakarta, mengatakan bahwa meski pertumbuhan ekonomi Indonesia diselamatkan
konsumsi domestik, namun pemerintah harus bisa mengelola agar tidak menjadi
negatif. Tingginya konsumsi domestik telah menyelamatkan ekonomi Indonesia dari
krisis Eropa dan Amerika Serikat (AS). Indonesia masih kalah dibandingkan
Singapura, Malaysia, dan Thailand dalam hal mengundang investasi asing (foreign
direct invesment/FDI). Untuk itu, menurut dia, Indonesia memiliki tantangan
besar untuk mengundang FDI.
Saat ini, infrastruktur
masih menjadi kendala utama, selain, pertumbuhan ekonomi Indonesia sebagian
besar berpusat di Jawa dan Sumatera. Salah satu tantangan Indonesia menggeser
ekonomi ke Indonesia Timur. “Khususnya mengembangkan ekonomi kelautan karena
itu bisa jadi potensi ekonomi besar. Program MPE3I diharapkan dapat membantu
program infrastruktur. Meski ada beberapa hal yang masih menjadi kendala yaitu
kebutuhan pendanaan dan koordinasi pusat dan daerah. “Tahun 2012 ada tahun
infrastruktur, kondisi geografis Indonesia yang merupakan kelautan,
infrastruktur menjadi sangat penting. Ada tiga pilar untuk meningkatkan
perekonomian Indonesia yakni kompetensi sumber daya manusia
(SDM), hard infrastruktur seperti pembangunan pelabuhan dan kereta
api dansoft infrastruktur seperti perizinan.
Bank Dunia menilai
pertumbuhan produk domestik bruto (PDB) Indonesia tetap, kuat ditengah rapuhnya
perekonomian global. Jika tahun ini diprediksi tumbuh 6,1 persen, tahun
depan pertumbuhan ekonomi Indonesia bisa menembus 6,3 persen. Penilaian
tersebut didasarkan atas fakta bahwa permintaan domestik tetap tinggi, dan
investasi terus meningkat, serta didukung oleh tingginya kepercayaan investor
dan terkendalinya laju inflasi. Hal itu diungkapkan Ekonom Utama dan Penasihat
Ekonomi Bank Dunia untuk Indonesia Ndiame Diop saat mempresentasikan “Laporan
Perkembangan Triwulanan Perekonomian Indonesia” edisi Oktober 2012 terbitan
Bank Dunia di Universitas Paramadina Jakarta.
Meski pertumbuhan PDB
kuat, Country Director Bank Dunia untuk Indonesia Stefan Koeberle mengingatkan,
Pemerintah Indonesia harus mencermati berbagai risiko yang bisa memengaruhi
perekonomian. Di antaranya adalah perlambatan ekonomi global yang dipicu
oleh ketidakpastian di Eropa, problem fiskal di Amerika Serikat, perlambatan
ekonomi Tiongkok, penurunan harga komoditas, serta kemungkinan terjadinya
gejolak baru di pasar keuangan.
Menurut Stefan
Koeberle, peningkatan risiko terutama disebabkan oleh berlanjutnya
ketidakpastian di zona euro, kemungkinan terjadinya kontraksi fiskal di AS, dan
risiko perlambatan di sejumlah mitra perdagangan utama Indonesia, terutama
China. Pelemahan di China akan berdampak pada ekonomi Jepang dan Korea
Selatan, yang juga mer upakan mitra potensial Indonesia.
Bank Dunia menyatakan,
Indonesia berpeluang menjaring investasi asing di sektor manufaktur menyusul
kuatnya fundamental ekonomi nasional. Keunggulan yang dimiliki Indonesia adalah
tingginya permintaan domestik, potensi kelas menengah, serta upah buruh yang
kompetitif dibanding negara lain. Konsumsi domestik meningkat tajam dalam
beberapa tahun terakhir,” kata Kepala Perwakilan Bank Dunia di Indonesia,
Stefan Koeberle, di Jakarta Rabu (10/10).
Data investasi terkini
menunjukkan laju pertumbuhan sektor manufaktur semakin cepat. Pertumbuhan tersebut
menurut dia, merupakan hasil permintaan domestik, terutama untuk logam,
makanan, bahan kimia dan suku cadang otomotif. Mengutip data Badan Koordinasi
Penanaman Modal (BKPM) Stefan mengatakan, investasi asing di sektor manufaktur
pada kuartal kedua 2012 mencapai US$1,2 miliar, atau naik 62 persen
year-on-year (YoY). Investasi asing, akan semakin meningkat dengan adanya
kenaikan upah buruh di China. Kondisi inii membuat perusahaan tekstil, pakaian
dan sepatu, memindahkan operasinya ke Indonesia.
Sejak krisis keuangan
Asia, sejumlah masalah makro telah melemahkan pertumbuhan manufaktur Indonesia
sehingga menurunkan daya saing di kawasan Asia. Masalah tersebut antara lain
adalah apresiasi rupiah, naiknya upah buruh relatif, pergeseran fokus ke
perdagangan komoditas dan sektor-sektor berbasis sumber daya alam, persaingan
internasional (terutama dengan China), dan pengetatan margin keuntungan.
Ekonom senior Bank
Dunia, Sjamsu Rahardja, menambahkan kendala yang saat ini dihadapi adalah
pertumbuhan produktivitas industri Indonesia tidak sekuat negara-negara
pesaingnya Penyebabnya masalah mikro yang dihadapi perusahaan-perusahaan
Indonesia, termasuk biaya transportasi dan logistik yang tinggi, sulitnya
mengakses pinjaman bank, serta kurangnya transparansi dan kepastian hukum.
Masalah-masalah ini menyulitkan pendatang baru untuk membangun usaha, dan
mempersulit upaya pemain lama untuk melakukan ekspansi dan mencapai skala
ekonomi. Berbagai permasalahan ini, telah menggerus perusahaan lapisan tengah
(missing middle), dan menimbulkan banyak perusahaan kecil yang kurang
produktif. Kondisi ini membuat kontribusi sektor manufaktur terhadap
pertumbuhan ekonomi dan lapangan kerja menjadi kurang signifikan.Masalah makro
dan mikro sektor manufaktur bisa diatasi, dengan merubah kebijakan yang mampu
meningatkan daya saing biaya dan mengurangi biaya peluang.
Revitalisasi sektor
manufaktur juga membutuhkan kordinasi yang lebih kuat antarinstansi pemerintah
dan pemerintah daerah. Sektor swasta juga perlu diajak berunding, karena
masukan mereka bisa memperkaya desain kebijakan-kebijakan baru. Beberapa
rekomendasi kebijakan, seperti membuka akses usaha kecil terhadap sumber daya
dan keuangan, serta menyederhanakan kondisi bursa keja, agar usaha-usaha kecil
bisa tumbuh kembang dan mengisi missing middle. Pemerintah juga harus
menyelesaikan isu-isu transportasi dan logistik, serta mengurangi hambatan
non-tarif untuk mengakses pasar internasional agar perusahaan-perusahaan
non-eksportir lebih mudah menjadi eksportir dan melebarkan pangsa
pasarnya. Rekomendasi lain adalah membantu perusahaan-perusahaan menaiki
mata rantai nilai, antara lain dengan investasi lebih besar di bidang
pendidikan, keterampilan pekerja dan teknologi, serta kerja sama
teknologi antara perusahaan dan lembaga pendidikan.
Sumber :
Tidak ada komentar:
Posting Komentar