Sabtu, 08 Juni 2013

WAJAH PEREKONOMIAN INDONESIA



 Cermati Resiko Konsumsi Domestik Selamatkan RI dari Krisis Global
Dekan Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, Firmanzah dalam acara Investment Strategy and Oppurtunity in Volatile  Market PT CIMB Principal Asset Management di Jakarta, mengatakan bahwa meski pertumbuhan ekonomi Indonesia diselamatkan konsumsi domestik, namun pemerintah harus bisa mengelola agar tidak menjadi negatif. Tingginya konsumsi domestik telah menyelamatkan ekonomi Indonesia dari krisis Eropa dan Amerika Serikat (AS). Indonesia masih kalah dibandingkan Singapura, Malaysia, dan Thailand dalam hal mengundang investasi asing (foreign direct invesment/FDI). Untuk itu, menurut dia, Indonesia memiliki tantangan besar untuk mengundang FDI.
Saat ini, infrastruktur masih menjadi kendala utama, selain, pertumbuhan ekonomi Indonesia sebagian besar berpusat di Jawa dan Sumatera. Salah satu tantangan Indonesia menggeser ekonomi ke Indonesia Timur. “Khususnya mengembangkan ekonomi  kelautan karena itu bisa jadi potensi ekonomi besar. Program MPE3I diharapkan dapat membantu program infrastruktur. Meski ada beberapa hal yang masih menjadi kendala yaitu kebutuhan pendanaan dan koordinasi pusat dan daerah. “Tahun 2012 ada tahun infrastruktur, kondisi geografis Indonesia yang merupakan kelautan, infrastruktur menjadi sangat penting. Ada tiga pilar untuk meningkatkan perekonomian Indonesia yakni kompetensi sumber daya manusia (SDM), hard infrastruktur seperti pembangunan pelabuhan dan kereta api dansoft infrastruktur seperti perizinan.
Bank Dunia menilai pertumbuhan produk domestik bruto (PDB) Indonesia tetap, kuat ditengah rapuhnya perekonomian global. Jika tahun ini diprediksi tumbuh 6,1 persen, tahun depan pertumbuhan ekonomi Indonesia bisa menembus 6,3 persen. Penilaian tersebut didasarkan atas fakta bahwa permintaan domestik tetap tinggi, dan investasi terus meningkat, serta didukung oleh tingginya kepercayaan investor dan terkendalinya laju inflasi. Hal itu diungkapkan Ekonom Utama dan Penasihat Ekonomi Bank Dunia untuk Indonesia Ndiame Diop saat mempresentasikan “Laporan Perkembangan Triwulanan Perekonomian Indonesia” edisi Oktober 2012 terbitan Bank Dunia di Universitas Paramadina Jakarta.
Meski pertumbuhan PDB kuat, Country Director Bank Dunia untuk Indonesia Stefan Koeberle mengingatkan, Pemerintah Indonesia harus mencermati berbagai risiko yang bisa memengaruhi perekonomian.  Di antaranya adalah perlambatan ekonomi global yang dipicu oleh ketidakpastian di Eropa, problem fiskal di Amerika Serikat, perlambatan ekonomi Tiongkok, penurunan harga komoditas, serta kemungkinan terjadinya gejolak baru di pasar keuangan.
Menurut Stefan Koeberle, peningkatan risiko terutama disebabkan oleh berlanjutnya ketidakpastian di zona euro, kemungkinan terjadinya kontraksi fiskal di AS, dan risiko perlambatan di sejumlah mitra perdagangan utama Indonesia, terutama China.  Pelemahan di China akan berdampak pada ekonomi Jepang dan Korea Selatan, yang juga mer upakan mitra potensial Indonesia.
Bank Dunia menyatakan, Indonesia berpeluang menjaring investasi asing di sektor manufaktur menyusul kuatnya fundamental ekonomi nasional. Keunggulan yang dimiliki Indonesia adalah tingginya permintaan domestik, potensi kelas menengah, serta upah buruh yang kompetitif dibanding negara lain. Konsumsi domestik meningkat tajam dalam beberapa tahun terakhir,” kata Kepala Perwakilan Bank Dunia di Indonesia, Stefan Koeberle, di Jakarta Rabu (10/10).
Data investasi terkini menunjukkan laju pertumbuhan sektor manufaktur semakin cepat. Pertumbuhan tersebut menurut dia, merupakan hasil permintaan domestik, terutama untuk logam, makanan, bahan kimia dan suku cadang otomotif. Mengutip data Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Stefan mengatakan, investasi asing di sektor manufaktur pada kuartal kedua 2012 mencapai US$1,2 miliar, atau naik 62 persen year-on-year (YoY). Investasi asing, akan semakin meningkat dengan adanya kenaikan upah buruh di China. Kondisi inii membuat perusahaan tekstil, pakaian dan sepatu, memindahkan operasinya ke Indonesia.
Sejak krisis keuangan Asia, sejumlah masalah makro telah melemahkan pertumbuhan manufaktur Indonesia sehingga menurunkan daya saing di kawasan Asia. Masalah tersebut antara lain adalah apresiasi rupiah, naiknya upah buruh relatif, pergeseran fokus ke perdagangan komoditas dan sektor-sektor berbasis sumber daya alam, persaingan internasional (terutama dengan China), dan pengetatan margin keuntungan.
Ekonom senior Bank Dunia, Sjamsu Rahardja, menambahkan kendala yang saat ini dihadapi adalah pertumbuhan produktivitas industri Indonesia tidak sekuat negara-negara pesaingnya Penyebabnya masalah mikro yang dihadapi perusahaan-perusahaan Indonesia, termasuk biaya transportasi dan logistik yang tinggi, sulitnya mengakses pinjaman bank, serta kurangnya transparansi dan kepastian hukum.
Masalah-masalah ini menyulitkan pendatang baru untuk membangun usaha, dan mempersulit upaya pemain lama untuk melakukan ekspansi dan mencapai skala ekonomi. Berbagai permasalahan ini, telah menggerus perusahaan lapisan tengah (missing middle), dan menimbulkan banyak perusahaan kecil yang kurang produktif. Kondisi ini membuat kontribusi sektor manufaktur terhadap pertumbuhan ekonomi dan lapangan kerja menjadi kurang signifikan.Masalah makro dan mikro sektor manufaktur bisa diatasi, dengan merubah kebijakan yang mampu meningatkan daya saing biaya dan mengurangi biaya peluang.
Revitalisasi sektor manufaktur juga membutuhkan kordinasi yang lebih kuat antarinstansi pemerintah dan pemerintah daerah. Sektor swasta juga perlu diajak berunding, karena masukan mereka bisa memperkaya desain kebijakan-kebijakan baru. Beberapa rekomendasi kebijakan, seperti membuka akses usaha kecil terhadap sumber daya dan keuangan, serta menyederhanakan kondisi bursa keja, agar usaha-usaha kecil bisa tumbuh kembang dan mengisi missing middle. Pemerintah juga harus menyelesaikan isu-isu transportasi dan logistik, serta mengurangi hambatan non-tarif untuk mengakses pasar internasional agar perusahaan-perusahaan non-eksportir lebih mudah menjadi eksportir dan melebarkan pangsa pasarnya. Rekomendasi lain adalah membantu perusahaan-perusahaan menaiki mata rantai nilai, antara lain dengan investasi lebih besar di bidang pendidikan, keterampilan pekerja dan teknologi, serta kerja sama teknologi  antara perusahaan dan lembaga pendidikan.
Sumber :

Tidak ada komentar:

Posting Komentar