KASUS PENGGELAPAN PAJAK PT ASIAN AGRI
GROUP
PEMBUKAAN
Pajak
yaitu iuran rakyat kepada kas negara berdasarkan undang-undang (sehingga
dapat dipaksakan) dengan tiada mendapat balas jasa secara langsung. Pajak
dipungut berdasarkan norma-norma hukum guna menutup biaya produksi
barang-barang dan jasa kolektif untuk mencapai kesejahteraan umum. Tak bisa
dipungkiri, pajak sebagai mesin penghasil uang negara telah menjadi primadona
penerimaan negara semenjak berakhirnya era kejayaan minyak yang dulu berfungsi
sebagai penghasil utama penerimaan negara.
Namun
hingga saat ini permasalahan pajak di Indonesia tidak henti-hentinya muncul.
Padahal pajak merupakan suatu kewajiban masyarakat sebagai warga negara, tetapi
masih banyak masyarakat yang tidak membayar pajak. Bahkan
banyak perusahaan-perusahaan di Indonesia yang menggelapkan dan terlibat dalam
kasus pajak. Hal ini dapat menyebabkan kerugian bagi negara, padahal dengan
kita membayar pajak, dapat menutupi pengeluaran rutin negara dan biaya
pembangunan tanpa balas jasa yang dapat ditunjuk secara langsung berdasarkan
undang-undang.
Pada umumnya dinegara berkembang, penerimaan pajaknya yang
terbesar berasal dari pajak tidak langsung, Hal ini disebabkan Negara
berkembang golongan berpenghasilan tinggi lebih rendah persentasenya.namun
dalam hal ini masih saja banyak terjadi pengusaha yang menghindarkan diri dari
pajak atau dalam arti lainnya melakukan penyelewengan pajak dimana penghindaran
diri dari pajak ini bisa saja di sebut dengan pelanggaran undang undang dan
resikonya dapat merugikan negara selain itu juga masih banyak terjadi kasus
penggelapan pajak yang masih bisa lolos dari jerat hukum dan mengambang
kasusnya dikarenakan aparat penegak hukum kita tidak tegas dan sungguh-sungguh
dalam menegakkan keadilan malah berusaha menyiasati hukum dengan segala cara
tidak lain tidak bukan tujuannya adalah untuk melindungi tersangka mafia pajak.
ISI
Penggelapan Pajak PT Asian Agri Group
PT Asian Agri Group (AAG) adalah salah satu induk usaha
terbesar kedua di Grup Raja Garuda Mas, perusahaan milik Sukanto Tanoto.
Menurut majalah Forbes, pada tahun 2006 Tanoto adalah keluarga paling
kaya di Indonesia, dengan kekayaan mencapai US$ 2,8 miliar (sekitar Rp 25,5
triliun). Selain PT AAG, terdapat perusahaan lain yang berada di bawah
naungan Grup Raja Garuda Mas, di antaranya: Asia Pacific Resources
International Holdings Limited (APRIL), Indorayon, PEC-Tech, Sateri
International, dan Pacific Oil & Gas.Secara khusus, PT AAG memiliki
200 ribu hektar lahan sawit, karet, kakao di Indonesia, Filipina, Malaysia, dan
Thailand. Di Asia, PT AAG merupakan salah satu penghasil minyak sawit mentah
terbesar, yaitu memiliki 19 pabrik yang menghasilkan 1 juta ton minyak sawit
mentah – selain tiga pabrik minyak goreng.
Terungkapnya dugaan penggelapan pajak oleh PT AAG, bermula
dari aksi Vincentius Amin Sutanto (Vincent) membobol brankas PT AAG di Bank
Fortis Singapura senilai US$ 3,1 juta pada tanggal 13 November 2006. Vincent
saat itu menjabat sebagai group financial controller di PT AAG – yang
mengetahui seluk-beluk keuangannya. Perbuatan Vincent ini terendus oleh
perusahaan dan dilaporkan ke Polda Metro Jaya. Vincent diburu bahkan diancam
akan dibunuh. Vincent kabur ke Singapura sambil membawa sejumlah dokumen
penting perusahaan tersebut. Dalam pelariannya inilah terjadi jalinan
komunikasi antara Vincent dan wartawan Tempo.
Pelarian VAS berakhir setelah pada tanggal 11 Desember 2006
ia menyerahkan diri ke Polda Metro Jawa. Namun, sebelum itu, pada tanggal 1
Desember 2006 VAS sengaja datang ke KPK untuk membeberkan permasalahan keuangan
PT AAG yang dilengkapi dengan sejumlah dokumen keuangan dan data digital.Salah
satu dokumen tersebut adalah dokumen yang berjudul “AAA-Cross Border Tax
Planning (Under Pricing of Export Sales)”, disusun pada sekitar 2002.
Dokumen ini memuat semua persiapan transfer pricing PT AAG secara
terperinci. Modusnya dilakukan dengan cara menjual produk minyak sawit mentah (Crude
Palm Oil) keluaran PT AAG ke perusahaan afiliasi di luar negeri dengan
harga di bawah harga pasar – untuk kemudian dijual kembali ke pembeli riil
dengan harga tinggi. Dengan begitu, beban pajak di dalam negeri bisa ditekan.
Selain itu, rupanya perusahaan-perusahaan luar negeri yang menjadi rekanan PT
AA sebagian adalah perusahaan fiktif.
Pembeberan Vincent ini kemudian ditindaklanjuti oleh KPK
dengan menyerahkan permasalahan tersebut ke Direktorat Pajak – karena memang
permasalahan PT AAG tersebut terkait erat dengan perpajakan.Menindaklanjuti hal
tersebut, Direktur Jendral Pajak, Darmin Nasution, kemudian membentuk tim
khusus yang terdiri atas pemeriksa, penyidik dan intelijen. Tim ini bekerja
sama dengan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) dan Kejaksaan
Agung. Tim khusus tersebut melakukan serangkaian penyelidikan – termasuk
penggeladahan terhadap kantor PT AAG, baik yang di Jakarta maupun di Medan.
Berdasarkan hasil penyelidikan tersebut (14 perusahaan
diperiksa), ditemukan Terjadinya penggelapan pajak yang berupa penggelapan
pajak penghasilan (PPh) dan pajak pertambahan nilai (PPN).selain itu juga
"bahwa dalam tahun pajak 2002-2005, terdapat Rp 2,62 triliun penyimpangan
pencatatan transaksi. Yang berupa menggelembungkan biaya perusahaan hingga Rp
1,5 triliun. mendongkrak kerugian transaksi ekspor Rp 232 miliar. mengecilkan
hasil penjualan Rp 889 miliar. Lewat modus ini, Asian Agri diduga telah
menggelapkan pajak penghasilan untuk badan usaha senilai total Rp 2,6 triliun.
Perhitungan SPT Asian Agri yang digelapkan berasal dari SPT periode 2002-2005.
Hitungan terakhir menyebutkan penggelapan pajak itu diduga berpotensi merugikan
keuangan negara hingga Rp 1,3 triliun.
Dari rangkaian investigasi dan penyelidikan, pada bulan
Desember 2007 telah ditetapkan 8 orang tersangka, yang masing-masing berinisial
ST, WT, LA, TBK, AN, EL, LBH, dan SL. Kedelapan orang tersangka tersebut
merupakan pengurus, direktur dan penanggung jawab perusahaan. Di samping itu,
pihak Depertemen Hukum dan HAM juga telah mencekal 8 orang tersangka tersebut.
Terungkapnya kasus penggelapan pajak oleh PT AAG tidak
terlepas dari pemberitaan investigatif Tempo – baik koran maupun majalah
– dan pengungkapan dari Vincent. Dalam konteks pengungkapan suatu perkara,
apalagi perkara tersebut tergolong perkara kakap, mustinya dua pihak ini
mendapat perlindungan sebagai whistle blower. Kenyataannya, dua pihak
ini di-blaming. Alih-alih memberikan perlindungan, aparat penegak hukum
malah mencoba mempidanakan tindakan para whistle blower ini. Vincent
didakwa dengan pasal-pasal tentang pencucian uang – karena memang dia, bersama
rekannya, sempat mencoba mencairkan uang PT AAG. Bahkan Vincent telah divonis
dan dihukum 11 tahun penjara. Sementara itu, pesan pendek (SMS) Metta
Dharmasaputra – wartawan Tempo – disadap aparat penegak hukum, print-out-nya
beredar di kalangan pers. Pemberitaan investigatif Metta Dharmasaputra dan
komunikasinya dengan Vincent sempat menjadi urusan Dewan Pers, bahkan nyaris
diproses secara pidana.Selain itu, pemberitaan Tempo juga di-blaming
melalui riset di bidang komunikasi publik oleh dosen Fisipol UGM atas pesanan
PT AAG – yang menyatakan bahwa pemberitaan-pemberitaan seputar kasus
penggelapan pajak tersebut tidak mencari solusi yang komprehensif. Sedangkan
P3-ISIP UI – yang melakukan riset serupa atas pesanan PT AAG – menyimpulkan
bahwa pers (pemberitaan Tempo) cenderung melakukan bias dan keberpihakan
yang secara etis patut direnungi. Bisa jadi hasil-hasil riset tersebut sebagai
legitimasi untuk memperkarakan Tempo.Apa yang dialami Vincent dan Tempo
tersebut sebenarnya merupakan cermin buram bagi perlindungan saksi di
Indonesia selama ini. Kejadian ini bukanlah yang pertama dialami para
pengungkap fakta. Tetapi kejadian berulang yang tujuannya tidak lain adalah
untuk menutupi kejahatan yang sesungguhnya. Para pengungkap fakta semacam ini
sering mengalami berbagai bentuk kekerasan – intimidasi dan teror, bahkan
diperkarakan secara hukum – baik perdata maupun pidana. Lihat saja misalnya
Kasus Udin, kasus Endin Wahyudi, Kasus Ny Maria Leonita, Kasus Romo Frans
Amanue, dan banyak lagi.Jangan sampai apa yang dialami Vincent dan Tempo tersebut
menjadi alat untuk membungkam pengungkapan kasus yang sesungguhnya, dalam hal
ini dugaan penggelapan pajak oleh PT AAG.
Penyelesaian Kasus Asian Agri: Di Dalam atau Luar
Pegadilan?
PT Asian Agri
Group (AAG) diduga telah melakukan penggelapan pajak (tax evasion)
selama beberapa tahun terakhir
sehingga menimbulkan kerugian negara senilai trilyunan rupiah. Belum lagi kelar
penyidikan, berkembang wacana mengenai penyelesaian kasus itu di luar pengadilan (out of court
settlement). Hal ini sangat menggelisahkan kalangan yang menginginkan
tegaknya hukum dan terwujudnya keadilan, tanpa pandang bulu. Sangat ironis jika
para penjahat kelas teri ditangkapi, ditembaki, disidangkan, dan dimasukkan
bui, sementara itu penjahat kerah putih (white collar criminal) yang
mengakibatkan kerugian besar pada negara justru dibiarkan melenggang karena
kekuatan kapital nya.
Celah Keluar dari Pengadilan
Meski peraturan perundangan mengancam pelaku tindak pidana
perpajakan dengan sanksi pidana penjara dan denda yang cukup berat, nyatanya
masih ada celah hukum untuk meloloskan para penggelap pajak dari ketok palu
hakim di pengadilan. Pasal 44B UU No.28/2007 membuka peluang out of court
settlement bagi tindak pidana di bidang perpajakan. Ketentuan itu mengatur
bahwa atas permintaan Menteri Keuangan, Jaksa Agung dapat menghentikan
penyidikan. Dengan demikian, kasus berakhir (case closed) jika wajib
pajak yang telah melakukan kejahatan itu telah melunasi beban pajak beserta
sanksi administratif berupa denda. Ketentuan hukum nyatanya begitu lunak dalam
mengatur tindak pidana perpajakan. Peluang out of court settlement dimungkinkan
bagi segala jenis tindak pidana perpajakan. Peluang itu tidak hanya berlaku
untuk “Perlawanan Pasif terhadap Pajak”, yaitu perlawanan yang tidak dilakukan secara
sadar atau disertai niat dari warga masyarakat untuk merintangi aparat pajak
dalam melakukan tugasnya. Penghentian penyidikan dan penyelesaian di luar
sidang juga berlaku untuk “Perlawanan Aktif terhadap Pajak” yang perbuatannya
dilakukan lewat cara-cara ilegal dan langsung ditujukan pada fiskus/pemerintah.
Jadi,
penyelesaian kasus tindak pidana perpajakan oleh Asian Agri Group meski masuk
kategori “Perlawanan Aktif terhadap Pajak” sekalipun – tetap dapat diselesaikan
di luar sidang pengadilan. Dengan demikian, harapan kita bergantung pada Menteri
Keuangan dan Jaksa Agung sebagai pihak yang paling menentukan dalam proses
penyelesaian tindak pidana perpajakan ini.
Tidak Hanya
Urusan Pajak
Menilik modus operandi dalam kasus ini, penggelapan pajak
bukanlah satu-satunya perbuatan pidana yang bisa didakwakan kepada Asian Agri
Group. Penyidikan terhadap Asian Agri Group juga dapat dikembangkan pada tindak
pidana pencucian uang (money laundering). Dalam hal itu, penggelapan pajak oleh Asian Agri
Group perlu dilihat sebagai kejahatan asal (predict crime) dari tindak
pidana pencucian uang. Sebagaimana lazimnya, kejahatan pencucian uang tidak
berdiri sendiri dan terkait dengan kejahatan lain. Kegiatan pencucian uang
adalah cara untuk menghapuskan bukti dan menyamarkan asal-usul keberadaan uang dari kejahatan yang sebelumnya. Dalam kasus ini,
penggelapan pajak dapat menjadi salah satu mata rantai dari kejahatan pencucian
uang.
Asian Agri Group mengecilkan laba perusahaan dalam negeri
agar terhindar dari beban pajak yang semestinya dengan cara mengalirkan labanya
ke luar negeri (Mauritius, Hongkong
Macao, dan British Virgin Island). Surat Pemberitahuan Tahunan (SPT) kelompok usaha Asian Agri Group kepada
Ditjen Pajak telah direkayasa sehingga kondisinya seolah merugi (Lihat
pernyataan Darmin Nasution, Direktur Jenderal Pajak, mengenai rekayasa SPT
itu). Modus semacam itu memang biasa dilakukan dalam kejahatan pencucian uang,
sebagaimana juga diungkapkan oleh Ketua Pusat Pelaporan dan Analisis
Transaksi Keuangan (PPATK), Yunus Hussein mengenai profile, karakteristik,
dan pola transaksi keuangan yang tidak beres sebagai indikasi kuat adanya money
laundering (Metro TV, 8/1/2008).
Kuatnya dugaan
tindak pidana pencucian uang oleh Asian Agri Group semakin didukung fakta-fakta
yang diperoleh lewat penelusuran Tempo. Investigasi wartawan Tempo
memperlihatkan adanya transaksi mencurigakan melalui perbankan untuk
mengalirkan uang hasil penggelapan pajak Asian Agri Group ke afiliasinya di
luar negeri yang ternyata adalah perusahaan fiktif. Salah satu perusahaan
fiktif itu adalah Twin Bonus Edible Oil and Fat, yang setelah dilakukan
pengecekan rupanya menggunakan alamat pabrik payung yang berkedudukan hukum di Hongkong (Tempo, 4/2/2007).Catatan/profile
transaksi keuangan yang tidak beres dan adanya transaksi dengan perusahaan
fiktif merupakan bukti permulaan yang bisa digunakan untuk membuat terang
dugaan tindak pidana pencucian uang. Penyidikan selanjutnya bisa dilakukan
dengan menyelusuri tiga tahapan dalam kejahatan pencucian uang. Pertama,
penempatan (placement) yang dimulai
dengan menyelundupakan penghasilan yang diduga dari laba perusahaan ke negara
lain. Kedua, pelapisan (layering) yaitu proses
pemindahan dana dari beberapa rekening atau lokasi tertentu sebagai hasil upaya
placement ke tempat lainnya melalui serangkaian transaksi yang kompleks
didesain untuk menyamarkan atau mengelabui sumber uang haram terebut (mengenai
tahap layering, lihat: Yunus Hussein, 2007). Ketiga, integrasi
(integration) yang merupakan tahap akhir dari
proses money laundering yang bertujuan menjadikan uang hasil tindak
pidana itu dapat digunakan/dinikmati selayaknya uang halal.
Berujung di Pengadilan
Berbeda dengan tindak pidana perpajakan, dalam proses
penyelesaian tindak pidana pencucian uang tidak ada satu pihak pun yang diberi
kewenangan untuk menghentikan penyidikan. Dengan demikian, jika PPATK dan
penyidik dapat melakukan koordinasi dengan baik untuk menuntaskan penyidikan
tindak pidana pencucian uang itu, maka persidangan kasus ini pun dapat segera
digelar. Akhirnya, lemahnya ketentuan hukum mengenai perpajakan harus menjadi
catatan lembaga legislatif. Ketentuan yang memberikan kewenangan untuk
menghentikan penyidikan tindak pidana perpajakan hanya akan menimbulkan
ketidakpastian hukum dan jelas tidak mampu menghadirkan keadilan. Persetujuan
kita bersama terhadap filosofi pajak yang tidak bertujuan membangkrutkan usaha,
semestinya juga tidak diinterpretasikan lewat kebijakan yang membeda-beda kan
kedudukan warga negara di hadapan hukum.
KESIMPULAN DAN SARAN
Pajak merupakan sumber pendapatan terbesar bagi negara.
Pajak berperan penting bagi perekonomian dan pembangunan Indonesia. Pajak juga
berperan penting bagi kelangsungan hidup bangsa. Sebagian besar Anggaran
Pendapatan Belanja daerah (APBN) dan Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBD)
berasal dari pungutan wajib tersebut, Dalam kasus sengketa pajak
Asian Agri, dijelaskan bahwa Asian Agri melakukan penggelapan pajak yang
mengarah kepada kerugian negara. Maka dari itu Peradilan Pajak dituntut
untuk bijaksana dalam menyelidiki dan menyelesaikan permasalahan kasus tersebut
sesuai dengan ketentuan Undang Undang yang berlaku. Kasus penyeledupan
pajak yang dilakukan oleh PT Asian Agri Group (AAG) harusnya tidak terjadi
apabila Dirjen pajak teliti memeriksa berkas atupun dokumen pembayaran pajak
dari perusahaan PT Asian Agri Group (AAG). Kemudian penegakan hukum yang tegas
bagi pelaku penggelapan pajak menjadi suatu yang harus sehingga tidak terus
berlarut kasus penggelapan pajak di negara kita ini.
REFERENSI
Baca juga bukunya Metta Darma Dharmasaputra "Saksi Kunci", Wartawan yang membongkar kasus pajak Asian Agri. Menarik sekali membaca detail proses pengungkapannya. Dari proses hingga intimidasi yang mereka alami.
BalasHapus